Kamis, 24 Februari 2011

KAjian Teori Politik Indonesia

DENGAN meneropong teks- teks politik Indonesia lewat
metode analisis wacana (discourse analysis), buku ini mempertanyakan,
mengapa aspek-aspek politik tertentu dijadikan obyek kajian, sementara
yang lainnya tidak; mengapa metode tertentu menjadi dominan,
sementara metode lain terpinggirkan; mengapa sesuatu disebut
pengetahuan, sementara yang lain tidak. Singkatnya,
ada semacam "distorsi pengetahuan" dalam teks-teks kajian politik
Indonesia, yang di dalam buku ini ditengarai sebagai produk dari
kecenderungan Orientalisme, yaitu bagaimana "Barat" merepresentasikan
realitas "Timur" lewat cara pandangnya sendiri.Sebagaimana yang dikatakan Gavin Kendall dan Gary
Wickham di dalam Using Foucault’s Methods (1999), genealogi bukanlah
cara "menelanjangi orang lain"-dalam pengertian menghujat, menilai, dan
mengadili pihak lain-melainkan cara "menelanjangi diri sendiri",
khususnya membongkar berbagai "aib epistemologis", khususnya bagaimana
relasi kekuasaan tertentu (power relations) mengendalikan produksi
pengetahuan dan klaim atas kebenarannya (truth)-aib yang justru selalu
ingin disembunyikan oleh para ilmuwan Orientalis. Dengan demikian, seperti dikatakan Philpott, daripada
menguji kesesuaian gagasan tertentu dengan "realitas" empiris
Indonesia, ia lebih tertarik untuk mengangkat isu-isu epistemologis dan
ontologis-yaitu cara pengetahuan diperoleh, relasi kekuasaan di
baliknya, dan keberadaan pengetahuan itu sendiri-yang berdasarkan
pengetahuan itu Indonesia "diimajinasikan" dan "dikonstruksi" (hal 3).
Imajinasi Orientalis
Imajinasi tentang "realitas" Indonesia di dalam teks-teks politik
Indonesia pada kenyataannya tidak dapat dipahami sebagai realitas
politik Indonesia an sich, tetapi harus ditempatkan di dalam bingkai
wacana yang lebih luas, seperti wacana Perang Dingin, antikomunisme,
teori modernisasi, teori ketergantungan, politik budaya, atau Renesans
Asia, yang semuanya silang-menyilang satu sama lain, dan secara
bersama-sama mencetak apa yang disebut sebagai "realitas Indonesia".Tidak hanya ada satu lukisan Indonesia, melainkan
"beragam Indonesia", yang keragaman itu dikondisikan oleh berbagai
aturan main (rules) dan relasi kekuasaan berbeda di baliknya, yang
menentukan apa yang dianggap sebagai "pengetahuan" dan apa yang ditolak.
Dalam rangka merealisasikan imajinasi itu, para
sarjana kolonial menciptakan "pemetaan kolonial" (colonial
cartography)-berupa pembagian negara-bangsa sesuai dengan imajinasi
global Amerika tentang kawasan itu-sehingga menciptakan "relasi
geopolitis baru", "realitas baru" dan "identitas-identitas baru", yang
di dalamnya setiap orang diharapkan mampu menciptakan pemaknaan baru
tentang relasi antarnegara-bangsa, yang diikat oleh sebuah sistem
geografis/yuridis yang bersifat universal. Pengetahuan distortif, citra yang melenceng, dan makna
yang "bengkok" ini secara sistematis dipelihara oleh berbagai lembaga
hegemonis, khususnya lembaga pendidikan dan lembaga donor (foundation
funding), sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan hegemonik AS. Di tangan para sarjana Orientalis Amerika, "lukisan
Indonesia" diproduksi di dalam bingkai wacana dan orientasi pemikiran
yang dibangun berdasarkan kelompok-kelompok sekolah tertentu (school of
thought), yang lebih dikenal sebagai "mafia", misalnya Mafia Berkeley. "Mafia-mafia pengetahuan" ini yang menciptakan imajinasi tentang Indonesia di dalam era Orde Baru, yang bersifat distortif.Sebagai sebuah discourse dalam pengertian Foucaultian,
"pembangunan" yang dijalankan oleh Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari
"relasi kekuasaan" di baliknya, dengan menerapkan apa yang dikatakan
Foucault teknologi diri (technology of self) dan pendisiplinan tubuh
(disciplinary body) lewat berbagai program perencanaan, pembatasan,
pengawasan, dan pengendalian tubuh (pendidikan, kelahiran, wajib
militer, transmigrasi) agar dihasilkan tubuh yang patuh (docile body).Bila yang disebut "epistemologi" oleh Philpott adalah
pengetahuan tentang seperangkat aturan dan kekuasaan, yang menentukan
apa yang diterima dan ditolak sebagai pengetahuan, maka ia adalah
"epistemologi setengah matang", yang tak sampai mempersoalkan
kebenaran, misalnya "kebenaran tentang realitas Indonesia".
Penutup
Akan tetapi, terlepas dari beberapa kritik tersebut di atas, keberadaan
buku ini patut diberikan penghargaan yang sangat tinggi karena ia
adalah sebuah buku yang sangat substansial, yang mampu membuka
cakrawala baru dalam pemikiran politik Indonesia dan mampu
mendekonstruksi struktur pemikiran keindonesiaan-khususnya politik-yang
selama ini terkungkung di dalam penjara epistemologi positivisme.
Pertama, dalam konteks perkembangan pemikiran politik di Indonesia,
nilai utama buku ini adalah keberaniannya memasuki wilayah substantif
dan filosofis-khususnya wilayah epistemologi dan ontologi-dalam
meneropong kajian politik Indonesia yang boleh dikatakan merupakan
sebuah "tanah tak berpenghuni" di dalam percaturan pemikiran politik di
Indonesia, yang selama ini hanya menghasilkan pemikiran-pemikiran
"praktis", "pesanan", dan "sponsor".Pertama, dalam konteks perkembangan pemikiran politik
di Indonesia, nilai utama buku ini adalah keberaniannya memasuki
wilayah substantif dan filosofis-khususnya wilayah epistemologi dan
ontologi-dalam meneropong kajian politik Indonesia yang boleh dikatakan
merupakan sebuah "tanah tak berpenghuni" di dalam percaturan pemikiran
politik di Indonesia, yang selama ini hanya menghasilkan
pemikiran-pemikiran "praktis", "pesanan", dan "sponsor".
Kedua, inilah buku pertama tentang kajian politik Indonesia, baik oleh
penulis lokal maupun asing, yang menggunakan pendekatan
"pos-strukturalis" dan "pos-kolonial" dalam meneropong realitas politik
Indonesia, yang menekankan "pluralitas pengetahuan", sehingga dapat
membangunkan dunia pemikiran Indonesia dari "tidur panjang positivisme". Ketiga, buku ini merupakan tawaran menarik bagi
masyarakat kajian politik Indonesia untuk mengganti kacamata dan
memperluas cakrawalanya dalam memandang apa yang disebut "politik",
yang selama ini terbelenggu dalam pemahaman "politik" yang sempit dan
praktis. Buku ini mampu mendorong masyarakat
kajian politik Indonesia ke arah cakrawala kajian politik yang lebih
luas, yang di antaranya termasuk kajian budaya populer, subkultur,
gender, etnisitas, linguistik, atau media sebagai bagian integral dari
kajian politik itu sendiri-the political discourses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar